Home

Minggu, 29 Januari 2012

Artikel kerjasama negara-negara ASEAN dalam bidang Sosial Budaya










Sekedar mau share ajah, dan mau bantu adik2 yang lagi kelas VI dan lagi pelajaran BAB KERJASAMA ASEAN Bidang SOSIAL.
Mungkin ya cuma bisa bantu sedikit tapi ya lumayan lah dari pada gak sama sekali,hahaha :)
Moga bermanfaat ea... :) :)

Sapa tau bapak/Ibu guru lagi ngasih tugas buat kliping,






KLIPING ASEAN
KERJASAMA BIDANG SOSIAL



 






Komunitas Sosial Budaya ASEAN

Kerjasama di bidang sosial- budaya menjadi salah satu titik tolak utama untuk meningkatkan integrasi ASEAN melalui terciptanya “a caring and sharing community”, yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang saling peduli dan berbagi. Kerjasama sosial-budaya mencakup kerjasama di bidang kepemudaan, wanita, kepegawaian, penerangan, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, penanggulangan bencana alam, kesehatan, pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, dan ketenagakerjaan serta Yayasan ASEAN.

KERJASAMA SOSIAL DAN BUDAYA

Kerjasama di bidang sosial-budaya menjadi salah satu titik tolak utama untuk meningkatkan integrasi ASEAN melalui terciptanya “a caring and sharing community”, yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang saling peduli dan berbagi. Kerjasama sosial-budaya mencakup kerjasama di bidang kepemudaan, perempuan, kepegawaian, penerangan, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, penanggulangan bencana alam, kesehatan, pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, dan ketenagakerjaan serta Yayasan ASEAN.

Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community)
Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community/ASSC) merupakan bagian dari tiga pilar penting yang saling terkait dan saling melengkapi dalam kerangka pembentukan komunitas ASEAN tahun 2015. Bersama-sama dengan Pilar Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN (ASEAN Political and Security Community) dan Pilar Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), Pilar Sosial Budaya ASEAN dibentuk dengan tujuan untuk mempercepat proses pengintegrasian di ASEAN dalam rangka mendukung upaya mewujudkan perdamaian di kawasan, meningkatkan kesejahteraan serta memperkokoh persaudaraan di kalangan masyarakat ASEAN.
Komunitas Sosial Budaya ASEAN bersifat terbuka dan bergerak berdasarkan pendekatan kemasyarakatan (People-Centered approach): dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Komunitas sosial budaya ASEAN mencakup kerjasama yang sangat luas dan multi-sektor, mulai dari upaya pengentasan kemiskinan, penanganan isu kesehatan, ketenagakerjaan, kepemudaan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, penanggulangan narkoba, kerjasama pegawai negeri, kerjasama pendidikan, penerangan, kebudayaan, lingkungan hidup, iptek hingga kerjasama penanganan kebencanaan. Dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang keberadaan ASEAN (ASEAN Awareness).
Sebagai satu komunitas sosial budaya, masyarakat ASEAN akan bersama-sama mengatasi berbagai tantangan pertumbuhan penduduk dan kemiskinan, ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat. Negara-negara ASEAN perlu meningkatkan kerjasama untuk memperkuat daya saing kawasan dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan lingkungan hidupnya. ASEAN akan berupaya membuka akses seluas-luasnya bagi penduduknya dengan memperhatikan keseimbangan gender di berbagai bidang, antara lain di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai pelatihan untuk pengembangan sumber daya manusia, membangun kualitas hidup yang lebih baik, meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, serta terus melakukan pengawasan penyebaran wabah penyakit, pengendalian penyebarluasan penyalahgunaan dan penyelundupan narkoba, penurunan kualitas lingkungan dan polusi lintas batas. Untuk dapat melaksanakan kerjasama yang baik di seluruh sektor pemerintahan maka ASEAN terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui peningkatan kapabilitas pegawai negeri dan good governance serta meningkatkan keterlibatan masyarakat madani (civil society).
Guna mewujudkan semua itu, warga ASEAN harus menciptakan “rasa ke-kita-an” (“We Feeling”) yang begitu penting bagi manusia dalam membentuk sebuah komunitas. Masyarakat ASEAN juga perlu menumbuhkan rasa saling menghormati dan solidaritas yang lebih besar sehingga warga ASEAN akan berkembang menjadi komunitas yang saling peduli dan berbagi (a Caring and sharing Community). Dengan demikian, masyarakat ASEAN akan lebih mengenali benang merah yang ada di dalam budaya-budaya mereka yang sangat beragam dan akan lebih mampu menghargai identitas nasional satu sama lain. ASEAN akan dapat menyelesaikan segala sengketa secara damai dan bersahabat, meskipun isu yang dibahas sangat sensitf. Dengan “rasa ke-kita-an” tersebut, warga ASEAN akan dapat mewariskan kepada generasi-generasi selanjutnya sebuah kawasan Asia Tenggara yang sejahtera, aman dan damai, bukan saja sebagai kawasan yang bebas tetapi juga mampu mengelola sengketa dengan bijaksana.
Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint)
Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terbentuknya ASEAN Socio-Cultural  Community (ASSC), ASEAN telah menyusun suatu Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint) yang akan disahkan pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand (Februari 2009). Penyusunan rancangan Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN ini dimaksudkan untuk memberian pedoman (guidelines) bagi negara anggota ASEAN dalam persiapan menyongsong terbentuknya Komunitas ASEAN tahun 2015 melalui pilar sosial budaya.
Cetak biru diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam memperkuat integrasi ASEAN yang berpusat pada masyarakat (people-centred) serta memperkokoh kesadaran, solidaritas, kemitraan dan rasa kepemilikan masyarakat (We Feeling) terhadap ASEAN.  Rancangan Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN memuat enam elemen utama (Core Element) & 348 Rencana Aksi (Action-lines).  Struktur Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN adalah sebagai berikut:
 Pengantar (Introduction)
II. Karakteristik dan Elemen-elemen (Characteristic and  Elements)
a.    Pembangunan Manusia (Human Development), terdiri dari 60 action lines
b.    Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare and Protection), terdiri dari   94 action lines
c.    Hak-Hak dan Keadilan Sosial (Social Justice and Rights), terdiri dari 28 action lines
d.    Memastikan Pembangunan yang Berkelanjutan (Ensuring Environmental Sustainability), terdiri dari 98 action lines
e.    Membangun Identitas ASEAN (Building ASEAN Identity), terdiri dari 50 action lines
f.    Mempersempit Jurang Pembangunan (Narrowing the Development Gap), terdiri dari 8 action lines
Pelaksanaan dan Review Cetak Biru ASCC (Implementation and Review of the ASCC Blueprint)
A.    Mekanisme Pelaksanaan (Implementation Mechanism)
B.    Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilisation)
C.    Strategi Komunikasi (Communication Strategy)
D.    Mekanisme Review (Review Mechanism)

Segera setelah disahkan, Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN diharapkan dapat segera diintegrasikan kedalam perencanaan pembangunan di masing masing negara ASEAN dan diimplementasi di tingkat nasional dan daerah. Kesuksesan implementasi ASCC Blueprint tentu memerlukan dukungan kuat dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari Pemerintah, kalangan Masyarakat Madani maupun anggota masyarakat secara luas.
Kerjasama Bidang Sumber Daya Manusia dan Yayasan ASEAN
a)    Kerjasama Pemajuan Perempuan 
Isu mengenai perempuan mulai diangkat pada ASEAN Women Leaders Conference di Jakarta pada bulan Desember 1975.  Pertemuan pertama ASEAN Standing Committee di Manila tahun 1975 membentuk ASEAN Sub-Committee on Women (ASW). Selanjutnya pada Pertemuan ke-20 ASW tahun 2001, ASW ditingkatkan statusnya menjadi ASEAN Committee on Women (ACW).
Dari sisi perkembangan regional policy framework, terdapat tiga deklarasi penting ASEAN yang terkait dengan isu perempuan dan telah disahkan, yakni:
i.       Declaration on the Advancement of Women in ASEAN, tahun 1988;
ii.    The Declaration against Trafficking in Persons Particularly Women and Children, tahun 2004; dan
iii.    The Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW), tahun 2004.

Sejauh ini, terdapat dua Work Plan yang telah disusun dan disahkan sebagai tindak lanjut dari deklarasi-deklarasi yang dihasilkan, yaitu:
i.    Work Plan on Women’s Advancement and Gender Equality (2005-2010) sebagai tindak lanjut dari 1988 Declaration on the Advancement of Women in the ASEAN Region; dan
ii.    Work Plan to Operationalize the Declaration on the Elimination of Violence against Women in ASEAN sebagai tindak lanjut dari Declaration on the Elimination of Violence against Women (DEVAW) 2004.

Kerjasama ASEAN dalam bidang perempuan menunjukkan perkembangan yang berarti. Pertemuan ke-5 ACW tahun 2006 di Singapura mengangkat tema “Membangun Kemitraan melalui Pemberdayaan Ekonomi Perempuan di ASEAN”. Hal ini menjadi perhatian utama negara-negara ASEAN dalam meningkatkan upaya peranan perempuan pada usaha kecil menengah (UKM). Beberapa hal pokok yang dibahas antara lain: Third Regional Report on the Advancement of Women in ASEAN; Gender Dimension of Globalisation and Regional Integration; serta Pelaksanaan Rencana Kerja Declaration on the Elimination of Violence Against Women (DEVAW).
Indonesia telah mengambil insiatif dengan menyelenggarakan ASEAN High Level Meeting on Gender Mainstreaming within the Context of CEDAW, BPFA and MDGs pada tanggal 15-16 November 2006 di Jakarta. Pertemuan ini menghasilkan Joint Statement dan komitmen negara-negara ASEAN untuk menguatkan kapasitas institusi dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pengetahuan mengenai konsep dan penerapan pengarusutamaan gender serta meningkatkan kerjasama regional dalam pengawasan dan evaluasi efektifitas pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi pembangunan.
Dalam upaya itu, pada tanggal 3-4 April 2007 di Bangkok telah dilaksanakan Regional Consultative on the Establishment of ASEAN Commission on the Protection of the Rights of Women and Children yang bertujuan menghimpun masukan dari unsur pemerintah dan non pemerintah.
Sehubungan dengan upaya ASEAN untuk membentuk ASEAN Human Right Body, maka negara anggota telah membahas kemungkinan pembentukan Commission of the Promotion and Protection of the right of Women and Children pada Joint Round Table Discussion tanggal 7-8 April 2008. Sementara menunggu terbentuknya Badan HAM ASEAN, Indonesia mengharapkan pembentukan Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak kiranya dapat dilakukan, dan bila Badan HAM ASEAN sudah dapat dibentuk, maka Komisi tersebut akan menjadi bagian dari Badan HAM ASEAN.

b)    Kerjasama Bidang Pemuda 
Kerjasama ASEAN di bidang kepemudaan dimulai sejak diselenggarakannya Konferensi Pemuda tanggal 15-17 September 1975. Dalam perkembangannya, telah dibentuk Expert Group on Youth dan disepakatinya Declaration of Principles to strengthen ASEAN Collaboration on Youth pada tahun 1983. Tahun 1998 Expert Group on Youth berubah nama menjadi ASEAN Sub-Committee on Youth (ASY). Selanjutnya pada tahun 2001, status ASY ditingkatkan menjadi ASEAN Senior Officials Meeting on Youth (SOMY).  Kegiatan dalam bidang kepemudaan juga melibatkan LSM dengan dibentuknya Committee for ASEAN Youth Cooperation (CAYC).

Pelaksanaan program kerjasama pemuda ASEAN diselaraskan dengan Work Programme on Preparing ASEAN Youth for Sustainable Employment and Other Challenges of Globalisation, yang merupakan tindak lanjut dari Yangoon 2000 Declaration on Preparing ASEAN Youth for the Challenges of Globalization. Dalam kaitan ini terdapat 4 bidang prioritas, yaitu:
c)    Policy Development;
d)    Promoting ASEAN Awareness and Civic Responsibility / Youth Leadership;
e)    Promoting Employability of Youth; dan
f)    Other Issues (Information Exchange, Promoting NGO Involvement and Other non project activities).

Bidang prioritas tersebut kemudian juga tersirat dalam kesepakatan “Vientienne Action Programme (VAP)” yang disepakati oleh para Kepala Negara pada KTT ke-10 tanggal 29-30 November 2004 di Vientiane, Lao PDR. Tema utama VAP adalah untuk mencapai komunitas sosial budaya ASEAN “ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)” yang bertujuan untuk “nurturing human, cultural and natural resources for sustained development in a harmonious and people-centred ASEAN”  dengan jangka waktu 2004 -2010.

Prioritas kerjasama pemuda terutama adalah “Building a Community of Caring Societies” dan “Managing the Social Impact of Economic Integration” dan “Promoting an ASEAN Identity”. VAP merekomendasikan program kegiatan bagi pemuda antara lain untuk meningkatan partisipasi pemuda dalam angkatan kerja, meningkatkan kesadaran dan identitas tentang ASEAN (”ASEAN awareness”) melalui program Youth Camp dan pertukaran  pemuda.     
Pelaksanaan kegiatan mengenai pemuda sebenarnya menjadi tanggung jawab SOMY namun mengingat kegiatan tersebut merupakan kegiatan lintas sektoral, maka implementasi juga melibatkan sectoral bodies lainnya yang mulai dikoordinasi melalui Coordinating Conference for the ASEAN Socio-Cultural Community (SOCCOM) sejak pertemuan di Sekretariat ASEAN Jakarta, pada bulan November 2006.

Para Menteri Pemuda se-ASEAN dalam Sidangnya yang ke-5 di Singapura, 25-26 April 2007, telah sepakat untuk mempertimbangkan aspirasi para pemuda dalam pengambilan kebijakan dan keputusan guna mencapai visi ASEAN. Sidang ke-5 para Menteri Pemuda se-ASEAN yang bertema “Youth: Creating Our Future Together” menghasilkan kesepakatan bahwa pemuda mempunyai peranan penting menentukan masa depan kawasan ASEAN, oleh karena itu sudah waktunya bagi para pemuda untuk menampilkan peranannya  mulai dari sekarang.

Untuk pertama kalinya pada Sidang ke-5 Para Menteri Pemuda se-ASEAN diselenggarakan Kaukus Pemuda. Para pemuda ASEAN yang tergabung dalam Kaukus Pemuda tersebut mengadakan diskusi secara khusus, mengenai isu pendidikan, kewirausahaan, lingkungan hidup serta keterlibatan pemuda dalam masyarakat. Rekomendasi Kaukus Pemuda disampaikan secara langsung kepada Para Menteri Pemuda se ASEAN pada Sidang tersebut.   

ASEAN juga melibatkan kerjasama dengan Mitra Wicara dalam upaya pemajuan pemuda di kawasan seperti dengan China, Jepang dan Republic of Korea (RoK), dan juga India. Berbagai program yang telah terlaksana dan diharapkan dapat dilaksanakan secara berkala antara lain:
-    ASEAN – Korea Youth Exchange Programme: ASEAN Youth visit to Korea
-    Regional Capacity Building Workshop to Promote Youth-Initiated (ICT) Enterprises
-    ASEAN Youth Leadership Development Programme (AYDLP)
-    ASEAN – China: ASEAN-China Youth Civil Servants Exchange Programme
-    Bridge of Youth: ASEAN In Our Hands
-    Program Kapal Pemuda ASEAN–Jepang
-    Japan East Asia Network for Exchange Programme (JENESYS)
-    ASEAN – India: ASEAN Youth Visit to India
-    ASEAN Youth Creativity Expo
-    East Asia Youth Leadership Programme

c) Kerjasama Bidang Penanggulangan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Obat-obat Terlarang (P4GN)
Secara umum, inti dari kerjasama penanggulangan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN) di tingkat regional ASEAN diarahkan pada upaya realisasi komitmen  A Drug Free ASEAN 2015 (Kawasan Bebas Narkoba ASEAN 2015), yang dipertegas dalam Rencana Aksi Komunitas Sosial-Budaya. Upaya di tingkat regional tersebut diselaraskan dengan langkah-langkah di tingkat nasional yang menetapkan pencapaian Kawasan Bebas Narkoba Indonesia 2015.
Penanganan kejahatan lintas negara di bidang narkoba dibahas dalam ASEAN Senior Officials on Drugs Matters (ASOD),  Senior Officials Meeting on Transnational Crimes (SOMTC), ASEAN and China Cooperative Operations in Response to Dangerous Drugs (ACCORD), dan ASEAN-EU Sub-Committee on Narcotics.
Pada tanggal 25-26 Agustus 2008 diadakan Pertemuan ke-29 ASOD di Bandar Seri Begawan, Brunei Darusssalam, yang dilanjutkan dengan Pertemuan ke-4 SOMTC + 3 Working Group Meeting on Narcotics, Pertemuan ASOD + India Consultation dan Pertemuan ke-5 ACCORD Joint Task Force. Rangkaian pertemuan membahas berbagai proyek kerjasama untuk peningkatan kapasitas dan kerjasama dalam P4GN serta peningkatan kerjasama dengan Jepang, Republik Korea dan China (Plus Three). Dalam Pertemuan ASOD ke-29 dihasilkan pula sejumlah rekomendasi dari working group, antara lain:
1)    Working Group on ”Alternative Development” (AD) (dipimpin Indonesia), merekomendasikan agar program AD yang berkelanjutan difokuskan juga pada tanaman pengganti ganja, bukan hanya pengganti opium; agar lebih banyak penelitian kegiatan yang bernilai ekonomi; agar dilakukan pendekatan menyeluruh untuk memperbaiki infrastruktur, pendidikan, kesehatan, kredit usaha kecil, dan pelayanan sosial untuk mengentaskan kemiskinan serta perlunya komitmen politis untuk kesinambungan AD, pemasaran produk dan pertukaran pengalaman.
2)    Working Group on Preventive Education (PE) (dipimpin Filipina) merekomendasikan agar Indonesia membagi pengalaman dengan Negara anggota lainnya dalam kemitraan dengan media. Agar ASOD mencari proyek mengenai pendidikan bagi remaja sebagai inisiatif lintas sektoral.
3)    Working Group on ”Treatment and Rehabilitation” (TR) (dipimpin Malaysia) terutama merekomendasikan antisipasi penyalahgunaan narkoba melalui dihirup dan agar industri bahan kimiawi mendukung program TR dari pemerintah.
4)    Working Group on ”Law Enforcement” (dipimpin Thailand) merekomendasikan Workshop “Legal Matters for “Drug Control” bagi anggota ACCORD, agar perundang-undangan domestik dan internasional lebih dipahami.
5)    Working Group on “Research” (dipimpin Singapura) merekomendasikan penjajagan penggunaan cairan biologi selain urine, misalnya keringat dan deteksi napas manusia untuk menguji adanya zat Toluene dalam deteksi penyalahgunaan narkoba dengan cara dihirup. Indonesia memberi rekomendasi agar dilakukan kerjasama dengan pabrik pengguna zat Toluene untuk  mencari zat pengganti.

Pertemuan ASOD ke-29 juga dihadiri berbagai lembaga terkait, yakni: ASEAN Inter-Parliamentary Association (AIPA), United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan INTERPOL dan International Federation of Non Government Organizations for the Prevention of Drugs and Substances Abuse (IFNGO).

d)   Kerjasama Bidang Yayasan ASEAN (ASEAN Foundation)
Pembentukan Yayasan ASEAN merupakan tindak lanjut dari keputusan para Pemimpin ASEAN pada KTT ke-5 di Bangkok tahun 1995.  Maksud pembentukan Yayasan ASEAN adalah untuk meningkatkan posisi kerjasama sosial budaya yang diharapkan dapat memberikan kemakmuran bagi ASEAN, melalui pembangunan SDM, peningkatan Iptek dan kesadaran sosial. MoU pendirian Yayasan ASEAN, ditandatangani oleh para Menteri Luar Negeri ASEAN, pada 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur.  
Untuk dapat melaksanakan program-program dan kegiatan-kegiatannya, Yayasan didukung dengan dana abadi dan dana operasional (endowment fund and operational fund) yang didapat dari kontribusi negara-negara anggota ASEAN, Mitra Wicara ASEAN yaitu pemerintah Jepang melalui Japan ASEAN Solidarity Fund, Perancis, China, Republik Korea, Kanada (International Development Research Centre) dan dari sektor swasta yaitu Microsoft Indonesia dan Hewlett Packard.
Berdasarkan Revised Memorandum of Understanding on the Establishment of the ASEAN Foundation tertanggal 25 Juli 2000, Yayasan ASEAN mempunyai tiga organ penting, yaitu Dewan Penyantun (Board of Trustees/BOT), Dewan Penasehat (Council of Advisor), dan Direktur Eksekutif (Executive Director). Setiap negara anggota mempunyai seorang wakil di Dewan Penyantun yang bertugas membuat kebijakan, menentukan prioritas-prioritas dan mengesahkan anggaran tahunan serta persetujuan proyek. Dewan Penasehat bertugas memberikan masukan dan rekomendasi kepada Dewan Penyantun.
Direktur Eksekutif dipilih berdasarkan seleksi terhadap calon memenuhi kualifikasi dengan tugas mengepalai Sekretariat dan bertanggung jawab kepada Dewan Penyantun. Direktur Eksekutif  bertugas mewakili Yayasan ASEAN dalam segala kegiatan yang bersifat administratif maupun operasional. Direktur Eksekutif sebelumnya dijabat oleh Dubes Wisber Loeis – Indonesia (1998-2001), Prof. Dr. Ruben C. Umaly – Filipina (2002-2005), dan Dr. Apichai Sunchindah – Thailand (2005-2007). Direktur Eksekutif Yayasan ASEAN tahun 2008 – 2010 adalah Dr. F.A. Uriarte, Jr. Dari  Filipina.
Dalam perkembangannya Yayasan ASEAN telah melakukan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk mendorong adanya kepedulian dan partisipasi yang luas dari masyarakat ASEAN. Hal ini tercermin dari berbagai proyek kegiatan dan pelatihan-pelatihan yang bersifat regional bagi masyarakat (grass root) ASEAN serta  proyek berkaitan dengan Initiative for ASEAN Integration (IAI).   Dalam memperingati usia Yayasan ASEAN yang ke-10 telah dilakukan survey ASEAN Awareness dikalangan mahasiswa berbagai universitas di negara anggota. Berdasarkan hasil survey terbatas tersebut diketahui bahwa masyarakat belum sepenuhnya menyadari keberadaan ASEAN. Oleh karena itu maka perlu dilakukan berbagai upaya tambahan untuk memasyarakatkan ASEAN.  

Tantangan yang dihadapi oleh Yayasan ASEAN adalah kemandirian dalam pembiayaan operasional Yayasan ASEAN. Yayasan ASEAN diharapkan lebih proaktif dalam mengadakan kegiatan-kegiatan penggalangan dana dan meningkatkan ASEAN Awareness di masyarakat ASEAN serta dan lebih aktif mengundang sektor swasta untuk berpartisipasi dalam kegiatan Yayasan ASEAN. Pada waktu ini Direktur Eksekutif Yayasan ASEAN melakukan inisiatif baru menjajagi kerjasama dengan organisasi internasional seperti Asian Development Bank, United Nations Economics and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP), UNAIDS dan UNIFEM serta berbagai sektor swasta di negara anggota ASEAN.

Dengan diberlakukannya Piagam ASEAN, akan dilakukan penyesuaian terhadap MOU, mengingat berdasarkan Piagam ASEAN Yayasan ASEAN akan berada di bawah koordinasi Sekretariat ASEAN. Piagam ASEAN memberi mandat kepada Yayasan ASEAN untuk mendukung pembangunan masyarakat ASEAN dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai identitas ASEAN, interaksi diantara masyarakat (people – to – people interaction) dan kolaborasi yang lebih erat dengan sektor swasta, masyarakat madani, akadimisi, dan stakeholder lain di kawasan.

d)   Kerjasama Bidang Kepegawaian dan Administrasi
Dibentuknya ASEAN Conference on Civil Service Matters (ACCSM) pada tahun 1981 mempunyai tujuan untuk saling tukar menukar pengalaman kerja serta memperbaiki efisiensi dan efektivitas manajemen publik  yang dalam fungsinya memberikan  pelayanan kepada masyarakat. Adapun mekanisme ACCSM meliputi kegiatan-kegiatan antara lain: konferensi/seminar tingkat para pimpinan (pejabat tinggi pemerintahan) maupun pakar dibidang pelayanan umum, pertukaran kunjungan antara pejabat pemerintahan, pelatihan dan penelitian dibidang administrasi publik dan hal lain yang berhubungan dengan kebijakan pegawai di lingkungan ASEAN.
Pada tahun 2007 – 2008 Indonesia menjadi Ketua ACCSM ke-14. Sesuai usulan Indonesia, tema the 14th ASEAN Conference on Civil Service Matters (ACCSM) adalah  “Developing Corporate Culture in Public Service towards ASEAN Community 2015”. Tema ini dipilih untuk menjawab tantangan di era globalisasi, dimana tuntutan publik akan pelayanan birokrasi yang baik, cepat dan sederhana semakin besar sehingga perlu adanya corporate culture values melalui peningkatan kapasitas, pertukaran informasi, pengalaman dan best practices.
Pada Pertemuan ke-14 ACCSM yang diadakan di Bali pada bulan Oktober 2007 dan Technical Meeting dan Informal Meeting yang diadakan pada bulan Oktober 2008 di Bukittinggi, disadari bahwa pegawai negeri memiliki peranan penting dalam berbagai aspek pembangunan dan kerjasama regional yang meliputi bidang politik dan keamanan, ekonomi, sosial, kelembagaan dan pengembangan SDM. Oleh karena itu, pertemuan menyepakati bahwa ACCSM dimasukkan dalam bagian Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Pertemuan telah mengesahkan ACCSM Work Plan (2008-2012) dan Technical Committee bertugas untuk menyusun langkah strategi untuk melaksanakan Work Plan dimaksud. Pertemuan menyambut baik usulan Indonesia untuk menjajagi kemungkinan menjalin kerjasama dengan negara-negara Plus Three (China, Jepang dan Republik Korea) di bidang pegawai negeri dan mengesahkan proposal Indonesia dan Singapura mengenai diadakannya Forum on Civil Service Accountability and Good Governance yang diharapkan dapat dilakukan secara rutin sebelum pelaksanaan Main Conference atau Technical Meeting ACCSM setiap tahun.

Kerjasama Kebudayaan, Penerangan, dan Pendidikan
A.    Kerjasama Bidang Kebudayaan dan Penerangan

Kerjasama ASEAN di bidang kebudayaan dan penerangan pada awalnya ditangani oleh Komite Tetap Kegiatan Sosial Budaya (Permanent Committee on Socio-Cultural Activities) dan Komite Tetap Media Massa (Permanent Committee on Mass Media) yang didirikan tahun 1972. Baru pada tahun 1978, dibentuk ASEAN Committee on Culture and Information (ASEAN-COCI) yang bertujuan untuk mempromosikan kerjasama yang efektif di bidang kebudayaan dan penerangan dalam rangka meningkatkan saling pengertian (mutual understanding) dan solidaritas diantara masyarakat ASEAN. ASEAN-COCI bersidang sekali dalam setahun untuk membahas proposal kegiatan dan melakukan evaluasi pelaksanaan proyek yang telah dilaksanakan, yang meliputi antara lain pameran, pertunjukan seni, seminar, pertukaran tenaga ahli dan peneliti, serta publikasi berbagai kegiatan kebudayaan. Jabatan Ketua ASEAN-COCI dipegang secara bergilir dengan periode kepemimpinan tiga tahun. Pada Pertemuan ke-34 ASEAN-COCI di Manila, Filipina, 10-14 Mei 1999, dibentuk dua Sub-Committee dibawah COCI, yaitu Sub-Committee on Culture (SCC) dan Sub-Committee on Information (SCI) yang masing-masing bersidang dua kali dalam setahun.
Guna mendukung pelaksanaan kegiatan-kegiatan COCI, pada tahun 1978, para Menteri Luar Negeri ASEAN sepakat untuk membentuk ASEAN Culture Fund (ACF). Jepang merupakan negara Mitra Wicara pertama yang memberikan kontribusi kepada ACF sebesar ¥5 milyar yang menjadi dana abadi ACF. ACF bersifat endowment fund, yang berarti hanya bunga pengelolaan dana tersebut yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan COCI. Penggunaan dana ACF dimonitor oleh advisory committee yang beranggotakan pejabat-pejabat dari negara-negara anggota ASEAN. ACF juga menerima sumbangan dari negara-negara anggota ASEAN, negara-negara Mitra Wicara lainnya dan organisasi-organisasi internasional.
Sesuai dengan amanat Rencana Aksi Sosial Budaya Viantiane Action Programme (VAP), kerjasama kebudayaan dan penerangan ASEAN diarahkan pada program “Promoting an ASEAN Identity”. Program dimaksud meliputi langkah-langkah promosi kesadaran ASEAN dan identitas regional ASEAN; pelestarian dan promosi warisan budaya ASEAN; pemeliharaan dialog bagi terciptanya suatu pengertian yang lebih mendalam akan peradaban, kebudayaan, dan agama-agama di ASEAN; serta promosi peran ASEAN dalam komunitas internasional.

Berbagai kegiatan ASEAN di bidang kebudayaan yang telah dilakukan antara lain workshop dan simposium di bidang seni dan budaya, ASEAN Culture Week, ASEAN Youth Camp, ASEAN Quiz serta pertukaran kunjungan antar seniman ASEAN. Sedangkan kegiatan di bidang informasi dilakukan antara lain melalui pertukaran berita di antara negara-negara ASEAN yang ditayangkan pada televisi nasional di masing-masing negara ASEAN (ASEAN TV News) dan  penyiaran berita dan informasi mengenai ASEAN melalui radio-radio nasional (ASEAN in Action).

ASEAN juga melakukan kerjasama di bidang kebudayaan dan penerangan yang  erat dengan negara-negara Mitra Wicara. Kerjasama dengan Korea Selatan di bawah Future Oriented Cooperation Projects (FOCP) meliputi pertukaran kunjungan antar seniman, insan media, pemuda dan pejabat pemerintah ASEAN dan Republik Korea yang secara teratur dilakukan setiap tahunnya. Kerjasama dengan India meliputi pertukaran kunjungan antar jurnalis ASEAN dan India. Selain itu juga telah ditandatangani Memorandum of Understanding (MOU) on ASEAN-China Cultural Cooperation yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ASEAN dan China di bidang kebudayaan.

i)    ASEAN Ministers Responsible for Information (AMRI)

AMRI merupakan pertemuan tingkat menteri yang bertugas membahas masalah kebijakan di tingkat regional dan melakukan evaluasi umum terhadap kegiatan kerjasama yang dilaksanakan. Sidang tersebut diadakan setiap dua tahun dan didahului oleh sidang setingkat pejabat tinggi (SOM).
Pada Pertemuan AMRI ke-9 bulan Mei 2007 di Jakarta dengan tema “Staying Connected to Advance A Sharing and Caring Community in ASEAN through Media,” ditegaskan peran penting informasi dan media dalam mendukung upaya integrasi ASEAN dan mencapai tujuan ASEAN sebagaimana terkandung dalam VAP. Kerjasama informasi ini dibutuhkan untuk meningkatkan kesadaran dan saling pengertian antara masyarakat di negara-negara ASEAN di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, kebudayaan, dan sejarah. Pertemuan juga membahas perluasan kerjasama ASEAN di bidang penerangan di masa depan dengan melibatkan negara-negara “Plus Three” (China, Republik Korea dan Jepang).
Dalam kaitan memperluas kerjasama penerangan ASEAN tersebut, telah diadakan Workshop on Enhancing ASEAN-China Cooperation through Information and Media di Jogjakarta bulan Mei 2006, yang berhasil menyepakati ASEAN-China Work Plan to Enhance ASEAN-China Cooperation through Information and Media 2006-2010. Hasil workshop juga menjadi bahan masukan bagi penyusunan Memorandum of Understanding between ASEAN-China on Information and Media Cooperation (Nota Kesepahaman Kerjasama Informasi dan Media antara ASEAN dan China), yang telah ditandatangani pada forum ASEAN-China Ministers Responsible for Information di Nanning, China, 13-16 Oktober 2008.

ii)    ASEAN Ministers Responsible for Culture and Arts (AMCA)
Untuk membahas kerjasama kebudayaan ASEAN di level Menteri, setiap dua tahun sekali diadakan forum ASEAN Ministers Responsible for Culture and Arts (AMCA). Dalam pertemuan AMCA pertama di Kuala Lumpur, Malaysia, 13-14 Oktober 2003, disepakati wilayah prioritas kerjasama kebudayaan ASEAN, yaitu pengembangan sumber daya manusia di bidang kebudayaan dan pengembangan UKM terkait budaya dan seni. Selanjutnya pada AMCA ke-2 tahun 2005 di Bangkok, Thailand, untuk pertama kalinya diadakan pula pertemuan dengan China, Jepang dan Korea Selatan dalam kerangka AMCA+3.
Pertemuan ke-3 AMCA berlangsung pada tanggal 12 -13 Januari 2008 di Nay Pyi Taw, Myanmar. Agenda yang dibahas terkait dengan penyusunan ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint (ASCC Blueprint), yaitu bagaimana work plan yang disusun di level teknis SOMCA (Senior Officials Meeting on Culture and Arts) dapat bersinergi dengan ASCC Blueprint agar secara signifikan kerjasama kebudayaan dibawah AMCA dapat memberi kontribusi dalam pembentukan ASEAN Socio-Cultural Community 2015. Pertemuan juga menyepakati sejumlah kegiatan seni budaya untuk meningkatkan ASEAN Awareness dan Identity: Showcase of the best of ASEAN’s arts and culture, ASEAN Cultural City/Capital dan ASEAN Cultural Week.

B.    Kerjasama Bidang Pendidikan

Kerjasama bidang pendidikan di wilayah Asia Tenggara dimulai dengan pembentukan South East Asian Ministers of Education Organizaton (SEAMEO) tanggal 30 November 1965. Sedangkan kerjasama pendidikan dalam kerangka ASEAN dilakukan oleh ASEAN Committee on Social Development (COSD), yang kemudian diubah menjadi ASEAN Sub-Committee on Education (ASCOE), dan diubah lagi menjadi ASEAN Committee on Education (mempergunakan akronim yang sama: ASCOE) pada sidang ke-9 ASCOE di Vientiane, Laos, 26 – 27 September 2001.
Gagasan untuk mengadakan pertemuan ASEAN Ministers of Education (ASED) secara back-to-back dengan pertemuan South East Asian Ministers of Education Organizaton (SEAMEO) muncul pada pertemuan SEAMEO di Bangkok tahun 2005. Pertemuan ASED pertama dilaksanakan di Singapura pada bulan Maret 2006, menyepakati strategi dasar dalam upaya mewujudkan Komunitas ASEAN melalui kerjasama pendidikan guna meningkatkan kesadaran (promoting awareness) dan saling pengertian (understanding). Kerjasama diwujudkan antara lain dengan kegiatan pertukaran mahasiswa dan peningkatan kapasitas (capacity building) tenaga pengajar.
Di level teknis, kerjasama pendidikan dibahas dalam forum Pertemuan Pejabat Senior Pendidikan ASEAN (ASEAN Senior Officials Meeting on Education (SOM-ED). Dalam SOM-ED di Bangkok, 24 November 2006, disepakati agar Sekretariat ASEAN, Sekretariat SEAMEO dan Sekretariat ASEAN University Network (AUN) bekerjasama untuk mengembangkan jejaring regional (regional framework) guna mendukung ASEAN Community Building, melalui pertukaran pelajar/mahasiswa dan akademisi, serta kerjasama penelitian antara peneliti dengan akademisi. Jejaring regional (regional framework) dimaksud akan difokuskan pada kegiatan-kegiatan untuk memajukan ASEAN awareness di sekolah-sekolah, termasuk mempromosikan ASEAN Studies di sekolah-sekolah dasar dan menengah.

Pertemuan ASEAN Education Ministers Meeting (ASED) kedua berlangsung di Bali tanggal 16 Maret 2007, membahas antara lain hal-hal berikut:
1)    Menghidupkan kembali ASEAN Student Exchange Programme pada tahun 2008 dan seterusnya sampai 2013;
2)    Menegaskan pentingnya peran dunia pendidikan di ASEAN, membangun identitas ASEAN  dan lingkungan yang multi-kultural; dan
3)    Mengupayakan substansi pendidikan terefleksi dalam ASEAN Charter, yang tidak hanya berada pada pilar sosial budaya melainkan mencakup ketiga pilar Komunitas ASEAN, yang dapat meningkatkan competitiveness masing-masing negara anggota maupun ASEAN sebagai organisasi regional.

The 3rd ASEAN Education Ministers Meeting (ASED) diselenggarakan di Kuala Lumpur, 15 Maret 2008, membahas antara lain kerjasama dalam peningkatan standar pengajaran, pelatihan bahasa Inggris, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan, serta pelatihan kejuruan dan teknis. Selain itu disepakati pula untuk mengembangkan ASEAN Scholarship Program, menggunakan common content untuk bahan-bahan pelajaran mengenai ASEAN di sekolah dasar dan menengah pertama, mengembangkan kerjasama yang lebih erat antara AUN dengan SEAMEO-RIHED (Regional Centre for Higher Education and Development), dan memfokuskan kerjasama ke depan dalam upaya mencapai Education For All (EFA) tahun 2015.

    ASEAN University Network
Forum kerjasama lain di bidang pendidikan adalah ASEAN University Network (AUN) yang merupakan jaringan kerjasama antar universitas terkemuka di ASEAN. AUN dibentuk dengan tujuan memajukan sumber daya manusia, khususnya dengan memperkuat jaringan kerjasama antar universitas dan lembaga pendidikan di ASEAN. Ide pembentukan AUN muncul pada KTT ke-4 ASEAN di Singapura, Januari 1992. Charter AUN yang dirancang oleh Sekretariat ASEAN dan ASCOE disepakati pada sidang ASCOE ke-3 di Manila, Filipina, 20-22 Juni 1995, sementara perjanjian pembentukan AUN ditandatangani pada bulan November 1995.
Struktur AUN terdiri dari Board of Trustees (BOT), participating universities; dan sebuah Sekretariat yang berpusat di Bangkok, Thailand. BOT beranggotakan wakil dari seluruh negara anggota ASEAN yang ditunjuk oleh pemerintah masing-masing, Sekjen ASEAN, Ketua ASCOE, dan Direktur Eksekutif AUN.
Universitas-universitas yang tergabung dalam AUN sampai saat ini adalah University Brunei Darussalam (Brunei Darussalam), Royal University of Phnom Penh (Kamboja), Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada (Indonesia), National University of Lao (Laos), Universiti Sains Malaya, Universiti Malaya (Malaysia), Institute of Economics, University of Yangon (Myanmar), University of the Philippines, De La Salle University (Filipina), National University of Singapore, Nanyang Technological University (Singapura), Chulalongkorn University, Burapha University (Thailand), Viet Nam National University-Ha Noi dan Viet Nam National University-Ho Chi Minh City (Viet Nam).
Dalam kerangka AUN dilakukan berbagai kegiatan kerjasama pendidikan, yang hanya melibatkan negara anggota ASEAN, maupun yang mengikutsertakan negara-negara mitra wicara. Bentuk kerjasama internal ASEAN antara lain ASEAN Studies Programme, AUN Educational Forum and ASEAN Young Speaker Contest, ASEAN Youth Cultural Forum, Student Exchange Programme, AUN Distinguished Scholars Programme, Collaborative Research, Information Networking, AUN Quality Assurance (AUN-QA), ASEAN Graduate Business and Economic Programme (AGBEP Network), Initiative on ASEAN Integration (IAI) “Higher Education Management in CLMV Countries” dan AUN Intellectual Property Network (AUNIP Network). Sementara kerjasama dengan mitra wicara ASEAN antara lain: ASEAN-China Academic Cooperation and Exchange Programme, ASEAN-EU University Network Programme, ASEAN-India Academic Cooperation, AUN-Southeast Asia Engineering Education Development Network, The ASEAN-RoK Academic Exchange Programme, International College Student Exchange Programme between and ASEAN Nations, ASEAN-Post-doctoral Fellowship Programme, Promotion of ASEAN and Korean Studies.

Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Lingkungan Hidup dan Bencana Alam
I.    Kerjasama Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

 
Ket : satelit
Kerjasama ilmu pengetahuan, riset dan teknologi dalam kerangka ASEAN telah terbentuk sejak tahun 1967 sebagai bagian dari program ASEAN-help-ASEAN Initiative. Kerjasama Iptek ASEAN tidak hanya terfokus pada upaya pengembangan Iptek namun juga diarahkan untuk lebih memasyarakatkan pemanfaatan Iptek terapan bagi pembangunan sosial dan ekonomi. ASEAN berupaya untuk mendorong sebanyak mungkin partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan pemanfaatan iptek termasuk sektor swasta.
ASEAN telah menyusun  ASEAN Plan of Action on Science and Technology (APAST) 2007-2011 yang merupakan kerangka strategis regional dalam pengembangan kerjasama Iptek. Rencana Aksi Iptek ASEAN periode 2007-2011 dalam implementasinya  diintegrasikan dengan VAP 2004-2010 dan ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint (ASCC Blueprint).
Beberapa program kerja utama yang akan dilaksanakan antara lain adalah (a) memperkuat kolaborasi dan jaringan kerjasama dengan berbagai institusi riset dan pengembangan, baik yang ada di tingkat regional maupun global (b) meningkatkan intensitas kegiatan penelitian iptek termasuk melalui pertukaran tenaga ahli dan pemberian beasiswa (c) memperkuat kerjasama alih teknologi serta (d) memperkuat pembangunan dan pemanfaatan ‘digital content’
Kerjasama Iptek ASEAN ditangani oleh ASEAN Committee on Science and Technology (COST) dan diperkuat dengan sembilan Sub-Komite sektoral, yang pembentukannya disesuaikan dengan bidang-bidang kerjasama yang menjadi prioritas ASEAN, yaitu:
-    Sub-Committee on Meteorology & Geophysics (SCMG);
-    Sub-Committee  on Microelectronic and Information Technology (SCMIT);
-    Sub-Committee on Non Conventional Energy Research (SCNCER);
-    Sub-Committee on Materials Science & Technology (SCMST);
-    Sub-Committee on Food, Science & Technology (SCFST);
-    Sub-Committee on Biotechnology (SCB);
-    Sub-Committee on S&T Infrastructure and Resources Development (SCIRD);
-    Sub-Committee on Marine Sciences and Technology (SCMSAT); dan
-    Sub-Committee on Space Technology and Application (SCOSA).

II.    Kerjasama Lingkungan Hidup

 
Ket : Kebakaran Hutan di Riau dan Kalimantan
Secara formal kerjasama ASEAN di bidang lingkungan hidup dimulai sejak tahun 1978, ditandai dengan dibentuknya ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE) di bawah Committee on Science and Technology (COST). Pembentukan wadah tersebut dimaksudkan untuk memperkuat kerjasama yang sudah dirintis sejak tahun 1971 melalui Permanent Committee on Science and Technology. Ketika itu, AEGE diberi mandat untuk mempersiapkan ASEAN Environmental Programme (ASEP) yaitu program kegiatan ASEAN di bidang lingkungan hidup. 
Seiring dengan makin meluasnya permasalahan lingkungan hidup di kawasan, pada tahun 1990 negara-negara ASEAN sepakat untuk secara reguler menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Menteri Lingkungan (ASEAN Ministerial Meeting on Environment/AMME) dan pertemuan tingkat pejabat senior (ASEAN Senior Officials Meeting on the Environment/ASOEN), untuk membahas dan menyelesaikan permasalahan lingkungan di kawasan. Mekanisme konsultasi formal dimaksud kemudian kemudian dilengkapi dengan 5 Kelompok Kerja (Pokja) yaitu: (a) Pokja pembahasan kesepakatan kerjasama lingkungan hidup di tingkat multilateral; (b) Pokja bidang Konservasi Alam dan keanekaragaman hayati; (c) Pokja Bidang Lingkungan Kelautan; (d) Pokja bidang Pembangunan kawasan kota dan desa yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (e) Pokja bidang manajemen sumber daya air.
Misi utama yang ingin dicapai ASEAN dalam kerjasama lingkungan adalah mewujudkan ASEAN sebagai kawasan yang bersih dan hijau (Creating Clean and Green ASEAN), dengan mengacu pada prinsip-prinsip mekanisme pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan serta melakukan pengelolaan sumber daya alam secara arif dan  lestari.
ASEAN telah mengidentifikasikan 12 bidang kerjasama yang menjadi prioritas dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan di kawasan, yaitu:
i    Memperkuat kapasitas nasional dan regional dalam menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan di bidang lingkungan, yang dicapai pada tingkat global seperti isu perubahan iklim (climate change) serta penanganan produk kimia dan limbah kimia;
ii    Memperkuat kerjasama dalam penanganan polusi lingkungan lintas batas seperti polusi asap lintas batas dan polusi limbah berbahaya lintas batas ;
iii    Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya lingkungan;
iv    Mempromosikan pengembangan dan pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan;
v    Memperbaiki pengelolaan lingkungan perkotaan sekaligus memperkuat good governance  di kawasan perkotaan;
vi    Memperkuat upaya pengawasan, pelaporan serta harmonisasi kebijakan sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
vii    Meningkatkan pengelolaan kawasan pantai dan bahari yang ramah lingkungan (coastal and marine environment);
viii    Memperkuat konservasi alam dan keanekaragaman hayati;
ix    Mempromosikan tersedianya sumber air bersih bagi semua penduduk;
x    Memperkuat pemanfaatan lahan secara ramah lingkungan;
xi    Mempromosikan pengelolaan hutan secara lestari dan melakukan harmonisasi antara kebijakan ekonomi, sosial dan lingkungan; dan
xii    Memperkuat kerjasama dalam pemanfaatan sumber daya mineral secara lestari.

Salah satu kerjasama bidang lingkungan yang menjadi prioritas ASEAN adalah memaksimalkan upaya bersama dalam penanganan polusi kabut asap (haze) lintas batas yang ditimbulkan oleh terjadinya kebakaran hutan dan lahan. ASEAN telah menyepakati ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang ditandatangani di Kuala Lumpur, Juni 2002.
Pada tahun 2006, atas inisiatif Pemerintah Indonesia, di Riau telah diselenggarakan pertemuan khusus negara anggota ASEAN untuk menuntaskan permasalahan polusi asap lintas batas yang selama ini membawa dampak sosial dan ekonomi cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Pertemuan Riau antara lain telah menggulirkan pembentukan the ASEAN Sub-Regional Ministerial Steering Committee on Transboundary Haze Pollution (MSC) yang beranggotakan 5 negara sub-regional ASEAN yang selain ini terkena dampak dari polusi asap lintas batas yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Pertemuan Riau juga menghasilkan dokumen Rencana Aksi untuk mengatasi masalah kabut asap lintas batas di kawasan Asia Tenggara yang meliputi aspek-aspek: (a) Pencegahan, pemantauan dan penegakan hukum; (b) Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan (peatlend management); (c) pemadaman dan tanggap darurat; (d) pengembangan sistem peringatan dini dan pemantauan; serta (d) penguatan kerjasama regional dan internasional.
Rencana Aksi tersebut secara sinergi melibatkan tiga unsur yang berperan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yaitu Pemerintah, petani/peladang, masyarakat, serta pelaku bisnis (perkebunan, HTI/HPH). Implementasi program aksi Indonesia untuk penanganan polusi asap lintas batas dalam dua tahun terakhir mulai menunjukkan perkembangan kearah yang cukup positif. Pada tahun 2006/2007, jumlah titik panas (hotspot) di daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan, berhasil ditekan dalam jumlah yang cukup substansial. Sementara itu, kolaborasi antara Pemerintah Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dalam penanganan polusi asap di di kawasan Jambi dan Riau, juga mulai diimplementasikan. 
Selain itu, untuk menunjang terbentuknya Kawasan ASEAN yang Bersih dan Hijau, tahun 2008, ASEAN telah melaksanakan beberapa program penting antara lain :
o    Penyelenggaraan pemilihan kota-kota terbaik di ASEAN yang berwawasan lingkungan (ASEAN Environmentally Sustainable City Award). Pemilihan ini bertujuan untuk mendorong agar desa-desa dan kota di negara-negara ASEAN menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di wilayahnya, dengan menciptakan clean land, clean air dan clean water. Indonesia dalam kaitan ini telah diwakili oleh Kotamadya Palembang.
o    Peluncuran ASEAN Environmental Education Plan 2008-2012, yang siap untuk disinergikan dengan program nasional melalui kurikulum sekolah, agar isu kepedulian pada linkungan menjadi bagian dari pendidikan formal maupun non formal.
o    Peluncuran buku panduan ASEAN Marine Water Quality Criteria: management Guidelines and Monitoring, yang akan menjadi bahan referensi bagi masing masing negara didalam mendukung program konservasi dan pengelolaan kawasan pantai dan sumberdaya laut di tingkat nasional.

Ke depan, kerjasama di bidang lingkungan hidup ASEAN akan merujuk pada cetak biru komunitas ASEAN (ASCC Blueprint) yang telah disepakati dan akan ditandatangani pada KTT-14 di Thailand (Februari 2009).
III.    Kerjasama Penanggulangan Bencana Alam





 
Kerjasama penanganan bencana alam dalam kerangka ASEAN sebenarnya sudah terbangun lebih dari tigapuluh tahun lamanya. Deklarasi Bangkok tahun 1967 yang menandai berdirinya ASEAN merupakan landasan bagi negara anggotanya untuk saling memperkuat kerjasama regional guna meningkatkan kedamaian, stabilitas, kemajuan regional serta untuk saling memupuk persaudaraan dan solidaritas terutama di saat salah satu anggotanya tertimpa bencana.
Komitmen negara-negara anggota ASEAN  untuk saling membantu pada saat terjadi bencana antara lain dimuat dalam Declaration of ASEAN Concord yang ditandatangani pada tanggal 24 Pebruari 1976. Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa natural disasters and other major calamities can retard the pace of development of member states, therefore they shall extend, within their capabilities, assistance for relief of member states in distress. Para Pemimpin ASEAN ketika itu sepakat untuk menjadikan isu penanganan bencana sebagai salah satu bagian penting dari tujuan kerjasama ASEAN.
Babak baru dalam kerjasama ASEAN di bidang penanganan bencana dimulai ketika mekanisme pengelolaan kerjasamanya ditingkatkan dari tingkat kelompok ahli menjadi komite penuh ASEAN pada tingkat pejabat senior. Tahun 2003, Komite ASEAN untuk Penanganan Bencana (ASEAN Committee on Disaster Management/ACDM) secara resmi dibentuk dengan mandat mempersiapkan program kerja beserta prioritas kegiatan yang kemudian dikenal sebagai Program Regional ASEAN untuk Penanganan Bencana (ASEAN Regional Programme on Disaster Management/ARPDM).
ARPDM memuat kerangka kerjasama antar negara ASEAN dan juga dengan Mitra Wicara dan organisasi internasional untuk periode 2004 – 2011.  Rangkaian program terpadu ARPDM, mencakup lima komponen inti dan mencakup lebih dari 29 kelompok kegiatan. Kelima komponen inti dimaksud adalah:
•    Pembentukan Kerangka Penanganan Bencana Regional ASEAN;
•    Peningkatan Kapasitas;
•    Pertukaran Informasi dan Sumber Daya;
•    Peningkatan Kolaborasi dan Penguatan Kemitraan; serta
•    Peningkatan Pengetahuan, Kesadaran dan Advokasi Publik.

Tragedi tsunami di Aceh tahun 2004 memberikan catatan bahwa ASEAN ternyata belum mempunyai mekanisme regional yang cukup memadai untuk penanganan bencana dalam skala besar. Pada sisi lain, bencana tsunami juga menyadarkan kita bahwa negara-negara anggota ASEAN ternyata memiliki ikatan persaudaraan yang kuat, memiliki kapasitas SDM serta aset yang sangat memadai untuk membantu negara tetangganya yang tertimpa musibah. Pada saat terjadi tsunami, tim SAR dan organisasi bantuan darurat dari negara-negara ASEAN merupakan salah satu yang pertama tiba di lapangan dan menyalurkan bantuan darurat kepada para korban.
Kejadian tsunami di Aceh telah mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk menata kembali dan memperkuat kerjasamanya di bidang penanganan bencana. Masalah penanganan bencana, tidak dapat lagi hanya dilakukan di tingkat sektoral tetapi harus melibatkan seluruh sektor terkait, tidak hanya di tingkat nasional tapi juga regional, bahkan melalui kerjasama internasional, bila memang diperlukan. Paska terjadinya tsunami, Pemerintah Indonesia mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan Pertemuan Khusus Para Pemimpin ASEAN di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2005. KTT Tsunami antara lain telah menghasilkan pernyataan bersama yang dikenal dengan nama Deklarasi Jakarta, yang memuat program aksi untuk memperkuat kerjasama penanganan bencana, mulai dari pengembangan system peringatan dini, penanganan pada periode tanggap darurat, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi serta pengurangan resiko bencana.
Sebagai tidak lanjut dari kesepakatan yang dicapai dalam KTT Tsunami di Jakarta, pada bulan Juni 2005, ASEAN segera menyusun  ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response/AADMER. AADMER merupakan suatu persetujuan penanganan bencana pada tingkat regional ASEAN yang bersifat terpadu, komprehesif dan menyeluruh karena mencakup semua aspek dan siklus penanganan bencana, mulai dari identifikasi resiko bencana, penilaian dan pemantauan (disaster risk identification, assessment and monitoring); pencegahan dan mitigasi (prevention and mitigation); peringatan dini (early warning); Kesiap-siagaan (preparedness); tanggap darurat (emergency response); hingga rehabilitasi (rehabilitation).
Persetujuan dimaksud ditandatangani oleh para Menteri Luar Negeri ASEAN pada kesempatan Pertemuan ke-38 Para Menteri Luar Negeri ASEAN di Vientiane, Laos, tanggal 26 Juli 2005. Hingga akhir 2008 persetujuan dimaksud telah diratifikasi oleh tujuh (7) negara yaitu Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Viet Nam. Sementara Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam menyatakan bahwa proses ratifikasi AADMER di negara masing-masing saat ini sudah memasuki tahap akhir.
Pemerintah Indonesia telah menyelesaikan proses ratifikasi AADMER melalui persetujuan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden No.32/2008 tanggal 15 Mei 2008. Penyerahan instrumen ratifikasi kepada ASEAN Secretariat telah dilakukan pada tanggal 14 Juli 2008 dan instrumen ratifikasi tersebut telah disirkulasikan kepada negara anggota pada tanggal 26 September 2008.
Salah satu komponen penting dalam Perjanjian AADMER adalah pembentukan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre /Pusat Bantuan Kemanusiaan ASEAN). Indonesia telah mendapatkan endorsement sebagai tuan rumah lokasi AHA Centre  pada pertemuan ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-40 di Singapura, Juli 2007. Indonesia mulai menjalankan fungsi Interim AHA Centre terhitung  sejak tanggal 1 Juli 2008.  Centre untuk sementara beroperasi di Kantor Badan Nasional Penanganan Bencana – BPNB  Jakarta.

Penanganan Cyclon Nargis di Myanmar
      

 
 Ket : Bencana Cyclon Nargis di Myanmar
 Siklon Nargis yang menghantam Myanmar pada tanggal 2 dan 3 Mei 2008, merupakan bencana terbesar kedua yang dialami negara ASEAN paska bencana tsunami di Aceh. Bencana topan Nargis telah menelan korban lebih dari 137 jiwa manusia serta menyebabkan kerusakan infrastruktur yang cukup parah di seluruh kawasan Yangon dan sekitarnya, serta wilayah Delta Sungai Irrawady (Ayeyarwady), kira-kira 250 km Barat Daya Rangon. Nargis menyebabkan daerah delta tersebut mengalami banjir di area seluas 5000 km2.
 Dalam rangka membantu pemerintah Myanmar dalam penanganan siklon Nargis tersebut, ASEAN telah menyelenggarakan pertemuan Khusus para Menteri Luar Negeri ASEAN di Singapura pada tanggal 19 Mei 2008. Pertemuan memutuskan untuk membentuk ASEAN-led mechanism untuk membantu mengkoordinasikan distribusi bantuan kemanusiaan baik yang bersumber dari ASEAN maupun masyarakat internasional bagi para korban bencana di Myanmar. Mekanisme koordinasi tersebut melibatkan negara-negara anggota ASEAN, Pemerintah Myanmar serta PBB sebagai wakil dari masyarakat internasional. 
 Implementasi mekanisme koordinasi tersebut dilaksanakan melalui ASEAN Humanitarian Task Force (AHTF) yang terdiri dari pejabat senior serta para ahli dari negara-negara ASEAN dan diketuai oleh Sekjen ASEAN, sebagai penentu kebijakan (policy guidance), dan Tripatite Core Group (TCG) sebagai unit pelaksana teknis di lapangan yang keanggotaannya juga melibatkan masyarakat internasional. Struktur TCG terdiri dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan ASEAN (Financial Coordinator), UN-OCHA (Resource Coordinator), Pemerintah Myanmar (Operation Coordinator) serta ASEAN (Monitoring/Reporting Coordinator).
 Negara donor dan organisasi internasional non-pemerintah memberikan tanggapan positif atas kepemimpinan ASEAN dan sukses yang dicapai dalam ASEAN-Led Coordinating Mechanism on Nargis, termasuk keberadaan TCG selaku unit operasional di lapangan. Negara Donor menyampaikan apresiasinya atas peran ASEAN dan TCG dalam menjembatani komunikasi dengan Pemerintah Myanmar sehingga mereka memperoleh akses untuk menyalurkan bantuan pada para korban.
 Masyarakat internasional sangat mengharapkan keberadaan ASEAN-led mechanism dapat tetap dipertahankan hingga proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Masyarakat internasional mengharapkan agar pengalaman dan sukses yang dicapai Indonesia dalam penanganan bencana di Aceh serta keberhasilan yang dicapai oleh ASEAN di Myanmar, dapat dijadikan sebagai model dalam mekanisme penanganan bencana di berbagai belahan dunia lainnya.

Kerjasama Bidang Pembangunan Sosial   

A.    Kerjasama Bidang Pembangunan Pedesaan dan Pengentasan Kemiskinan

 
Kerjasama ASEAN di bidang pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan didasari oleh Dokumen Ministerial Understanding on Rural Development and Poverty Eradication (RDPE), yang mengacu pada Declaration of ASEAN Concord (Bali Concord I) 1976, menekankan kepedulian ASEAN pada masalah penanggulangan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf, serta memutuskan untuk meningkatkan kerjasama di bidang pembangunan sosial dan ekonomi, khususnya dalam rangka meningkatkan keadilan sosial dan  perbaikan standar hidup masyarakat ASEAN.
Pada pertemuan KTT ASEAN ke-12 bulan Januari 2007, Para pemimpin ASEAN antara lain telah menegaskan kembali kesepakatannya untuk memberikan perhatian lebih besar pada penanganan masalah kemiskinan, melalui berbagai program pemberdayaaan masyarakat. Dalam kaitan ini para pemimpin ASEAN menggarisbawahi bahwa upaya penanggulangan kemiskinan akan dilaksanakan melalui implementasi program-program yang lebih bersifat partisipatif yaitu dengan melibatkan sebanyak mungkin keikutsertaan masyarakat.  
Guna menindaklanjuti kesepakatan yang telah dicapai di dalam KTT ASEAN, maka pada pertemuan ke-5 ASEAN Ministerial Meeting on Rural Development and Poverty Eradication yang berlangsung di Bangkok, pada bulan Januari 2007, antara lain telah disahkan Term of Reference (TOR) pengembangan kerjasama penanggulangan kemiskinan, antara ASEAN  dengan negara negara anggota Plus Three Countries (Jepang, China dan Korea). Dalam TOR telah diidentifikasikan bentuk-bentuk kerjasama yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan, yaitu meliputi  antara lain: (1) People’s Forum, (2) Capacity Buidling, (3) SME and Social Enterprises Development, (4). Impact Trade Liberalization on Poverty Alleviation Programmes  dan (5) Micro Financing.
Dalam kaitan hal di atas, pertemuan 6th ASEAN Senior Officials Meeting on Rural Development and Poverty Eradication, di Singapura tanggal 13-15 Oktober 2008,  antara lain telah menyepakati sejumlah kerjasama yang akan dikembangkan dalam kerangka kerjasama ASEAN Plus Three, terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
    Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dalam konteks pembangunan pedesaan dan penanggulangan kemiskinan.
    Dukungan dan dan bantuan teknis bagi negara anggota ASEAN, kususnya CLMV countries,  dalam upayanya mencapai pembangunan milenium (MDGs).
    Pengembangan program-program pengentasan kemiskinan bagi kelompok rentan secara sosial, termasuk para penyandang cacat, anak-anak, manula, dan kelompok/masyarakat yang terkena bencana alam.
    Pembentukan joint fund  untuk mendukung proyek-proyek pengentasan kemiskinan di daerah-daerah miskin negara anggota. 

Sementara itu, dalam menindaklanjuti upaya untuk mencapai MDGs di kawasan, ASEAN telah menyusun suatu ASEAN Roadmap for the Implementation of the Millennium Development Goals yang diselaraskan dengan UNESCAP/ADB/UNDP-lead regional MDG Roadmap, yang mencakup lima bidang, yakni: (a) advocacy; (b) knowledge; (c) resources; (d) expertise; and (e) regional cooperation and regional public goods.

B.    Kerjasama Bidang Kesehatan

Kerjasama yang paling menonjol di bidang kesehatan adalah upaya penanggulangan penyakit menular. Pena



Kerjasama yang paling menonjol di bidang kesehatan adalah upaya penanggulangan penyakit menular di ASEAN dilakukan melalui mekanisme ASEAN Expert Group on Communicable Diseases (AEGCD). Program utama dalam kerangka AEGCD dilaksanakan melalui ASEAN+3 Infectious Diseases Programme (ASEAN + 3 EID Programme). Fase ke-2 program tersebut (2006-2009), terdiri dari sejumlah prioritas sebagai berikut:
    Identifikasi dini emerging infectious diseases/penyakit menular (termasuk HIV dan AIDS; SARS, AI), serta langkah penanggulangannya.
    Pembangunan kapasitas yang terkait dengan emerging concerns di bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial;
    Penyusunan kebijakan dan pendekatan terpadu dalam penanganan kesehatan bagi para manula serta obat tradisional.

Penanggulangan HIV dan AIDS melalui pelaksanaan ASEAN Work Programme (AWP) on HIV and AIDS Prevention  dilakukan sejak tahun 1995 dan sampai saat   ini  memasuki tahap III (AWP III) untuk periode 2006-2010. Kerjasama penanganan HIV dan AIDS dipertegas kembali dalam KTT ke-12 ASEAN di Cebu melalui ASEAN Comitments on HIV and AIDS.  Inti dari komitmen bersama itu antara lain kesepahaman untuk memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, menghilangkan stigma dan diskriminasi serta meningkatkan kerjasama pemerintah dengan civil society dan swasta.
Dalam penanganan flu burung, kerjasama ASEAN telah mencatat suatu kemajuan dengan adanya ASEAN-Japan Project on stockpiles of  tamiflu dan Personel Protective Equipment (PPE) against Potential Pandemic Influenza, yang berlokasi di Singapura. Stockpiles tersebut merupakan bentuk tindakan kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi  flu burung dalam kawasan.
Pertemuan ke-9 ASEAN Health Ministers Meeting (AHMM) di Manila, Oktober 2008 mencatat bahwa 50% regional stockpile of PPE ¬ telah ditempatkan di seluruh negara anggota ASEAN. Demikian pula Tamiflu telah ditempatkan di sejumlah negara anggota dan dijadwalkan pada akhir tahun 2008 keseluruhan negara anggota telah akan  menerima Tamiflu dimaksud.
Sementara itu, dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi pandemi flu burung, melalui kolaborasi ASEAN-US,  ASEAN  telah membentuk suatu mekanisme untuk meningkatkan kolaborasi multi-sektoral  ASEAN Technical Working Group (TWG) on Pandemic Preparadeness and Responses. Dalam pertemuan ke-1, TWG   telah berhasil menyusun suatu rencana kegiatan, termasuk diantaranya strengthening of on-scene command and response system  melalui Incindent Command System (ICS).






C.    Kerjasama Bidang Ketenagakerjaan




Salah satu keberhasilan kerjasama ASEAN di bidang ketenagakerjaan adalah dibentuknya pusat pelatihan dan informasi mengenai perbaikan lingkungan kerja, yang dikenal dengan ASEAN Occupational Safety on Health Network (ASEAN OSHNET)  pada bulan Agustus 2000. ASEAN-OSHNET bertujuan  meningkatkan daya saing dan kompetensi tenaga kerja ASEAN, serta menciptakan jaringan kelembagaan yang kuat. Sekretariat ASEAN-OSHNET yang pertama kali bertempat di Indonesia untuk tahun 2000-2004. Selanjutnya penempatan Sekretariat ASEAN-OSHNET digilir setiap 3 tahun sekali untuk masing-masing negara anggota ASEAN.
KTT ke-12 di Cebu menghasilkan ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Deklarasi memuat kewajiban bagi negara pengirim, negara penerima maupun ASEAN untuk memberikan perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran. Deklarasi mewajibkan dibentuknya instrumen hukum yang lebih mengikat negara-negara ASEAN guna memberikan jaminan dan perlindungan hak-hak pekerja migran. Deklarasi ini merupakan komitmen ASEAN menuju terwujudnya a caring and sharing community.
Pada pertemuan SLOM ke-5, tanggal 15-16 Mei 2007, telah disepakati untuk mengawali proses guna menindaklanjuti Deklarasi dimaksud. Melalui usulan Indonesia, telah disepakati pembentukan suatu Forum on Migrant Workers dengan memanfaatkan kelompok kerja pada pertemuan ke-2 Ad-Hoc Working Group on Labour Practices to Enhance Competitiveness  di Singapura tanggal 1-2 Maret 2007. Forum mempunyai tugas untuk membahas tindak lanjut deklarasi. 
Pada pertemuan ke-3 Ad Hoc-Working Group on Progressive Labour Practice, di Yogyakarta tanggal 9-10 September 2007, antara lain telah disepakati bahwa Filipina akan menyusun TOR Forum sebagai rujukan dalam pembentukan dan pelaksanaan kegiatan dalam membahas penanganan isu migrant worker.   Dalam kaitan ini, pertemuan ke-1 ASEAN Forum on Migrant Labour di Filipina tanggal 24-25 April 2008 telah menyepakati untuk menyelenggarakan Forum tersebut secara reguler dan sepakat untuk menjadwalkan pertemuan ASEAN Committee on the Implementation of Declaration on the Protection of the Rights of Migrant Workers  serta menyusun struktur dan fungsi Komite dimaksud sebelum KTT ke-14 tahun 2008.  Disepakati bahwa kedudukan Forum akan berada dibawah Komite dan menyampaikan laporan kepada SLOM.

Pertemuan ke-20 ASEAN Labour Ministerial Meeting (ALMM) di Bangkok tanggal 6-9 Mei 2008  menegaskan kembali untuk segera membentuk Komite (ASEAN Committee on Migrant Workers/ACMW)) sebelum KTT ASEAN ke-14. Dalam kaitan ini, Pertemuan Komite pertama yang berlangsung tanggal 15-16 September 2008, telah berhasil merumuskan suatu workplan dalam rangka implementasi Deklarasi dan pembentukan instrumen bagi perlindungan dan pemajuan hak-hak para pekerja.

D.    Kerjasama Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial



   

  
Kerjasama di bidang pembangunan dan kesejahteraan sosial dilakukan melalui ASEAN Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development (SOMSWD). SOMSWD memfokuskan pada program-program kesejahteraan sosial yang meliputi antara lain kependudukan, anak-anak, penyandang cacat, lansia dan keluarga.
Selain itu, guna mencapai tujuan dalam membentuk komunitas ASEAN 2015, ASEAN juga telah memfokuskan kerjasama pembangunan sosial melalui pendekatan right based approach. Upaya tersebut dimaksudkan agar seluruh golongan masyarakat termasuk anak-anak, perempuan para manula dan juga penyandang  cacat dapat memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh kesejahteraan. 
Upaya tersebut tercermin dari rekomendasi 2nd ASEAN GO-NGO Forum yang berlangsung secara back-to-back dengan 6th ASEAN Ministerial Meeting for Social Welfare and Development di Ha Noi tanggal 4-6 Desember 2007, yang berupaya  mengarustamakan para penyandang cacat dalam setiap kebijakan pembangunan dan kesejahteraan sosial dengan menggunakan right based approach tersebut.
Pertemuan Preparatory Senior Officials Meeting for the 6th ASEAN Ministerial Meeting for Social Welfare and Development (PrepSOM for the 6th AMMSWD) di Ha Noi, tanggal 4-5 Desember 2007 antara lain merekomendasikan sejumlah program kegiatan untuk dicantumkan dalam cetak biru ASEAN Socio-Culture Community (ASCC Blueprint), ‘ sebagai acuan dalam pelaksanaan kerjasama pembangunan dan kesejahteraan sosial yaitu:
-    Pembentukan the ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Woman and the ASEAN Commission on the Promotion and Protection of The Rights of Children through an ASEAN Agreement by 2010.
-    Pembentukan suatu jejaring atau kelompok kerja bagi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta mengesahkan Kerangka Acuannya pada tahun 2009. 
-    Pembentukan Jejaring untuk mencegah dan memerangi perdagangan manusia, khususnya, perempuan dan anak serta mengesahkan Kerangka Acuannya pada tahun 2011.